Tuanku Bernama Bayangan


Dengan jubah Merak
Berhias mahkota sanjungan
Aku sembunyi dari cahaya lilin
Yang tak lebih besar dari pada telunjuk
Menari-nari
Mengatur gerak sang Tuan
Kunikmati
Meski tanpa tubuh
Dipenjara
Bukan berarti tak punya tata krama
Usaha untuk memiliki
Justru membuat semakin kehilangan
Itu hanya urusan potong kuku
Bagian ujungnya saja yang dibuang
Sedang pangkalnya masih tertinggal
Dan
Tumbuh lagi
Aku bisa apa?
Tuan itu bernama Bayangan

Percikku Ditiup Angin

Rasanya…
Kehangatan ini mulai menjadi Bara
Rasanya…
Peluh ini tak terusap oleh angin
Rasanya...
Di hening malam embun pun masih menunggu Fajar, toh aku sedang terlelap

Berjuta hayalanku tentangmu
Terkadang terhapus angin yang lagi-lagi disisimu
Buatku semakin meradang
Tersayat beling bening yang ku tahu ada
Masihkah bisa kau menyalakan aku

Nyalaku terpadam di diriku sendiri
Masa dimana aku berbagi cahaya itu
Untukmu

Kini aku tinggal sepercik

Cemaraku

Sujud jarum cemara ku ibaratkan perisai pasir.
Kusematkan satu di antara dawai dewa angin.
Kusandarkan iya di bawah tepian damai.
Selagi ku ingat akan tariannya.
Semasih kudengar rintihannya.
Biarkan kujaga sakitnya dalam dekapanku.

Terkadang ku berharap juga bergoyang bagai damar.
Yang seakan anggun menari di udara.
Yang seolah gagah di terpa sinar dunia.
Memegang kukuh dunia dengan akar tegapnya.
Berharap juga tinggi bersemat dahan yang terus kekar semegah batang tubuhnya.

Tapi.. Betapa pun bayak damar.
aku tetap di bawah cemara.
ku tetap berteduh di bawah jarum-jarum rapuhnya.

Biarkan
Cemara ku akan tumbuh besar
meski tak ada dahan kokoh yangg bertahan lama.
aku tidak ingin memanjatnya.
aku cukup merasa nyaman berteduh di bawahnya

berbahagialah CEMARAku meski kau tak sehebat DAMAR-DAMAR di sana

Ingin Di Angan

Memilihmu,
hanya sebatas kuasaku manjakan mata.
Milikimu,
jauh dari asa aku inginkan.
Hatimu,
tidak, tiada aku disana.
Bibirmu,
bisa lagi tanpa batas hasrat berkata-kata.
mulai memanggilku dengan sebutan bukan aku.
Terkadang tanyaku tak urung terjawab.
Bukan lentera nun jauh di tepi pantai yang ku harap.
Bukan pula bara dalam penjerang yang ku ingin.
Berulang kupinta cahaya mutlak.
Tunjukkan!
aku tak bisa belah dadamu untuk tahu isi hatimu.

Takut Pada Bayang

Untuk kesekian kalinya aku mengeluh
Untuk kesekian kali pula aku lari dari diriku sendiri
Bukan aku
Berang aku menoleh
Meski hanya sekedar berhati-hati

Berkali-kali, berkali-kali
berkali kali
Tercipta dunia lain
Sekedar penghibur
Berharap terasa seakan hilang

Lalu

Irama senada nadiku
Buatku jengah
Tak bisa kutepis hadirnya
Selalu bergelak tak kupinta

Kecuali aku dalam pekat

(Maaf! Aku Tak Butuh Lagi)

(Lagi
Kembali lagi
Saat aku bisa menata hatiku
Jiwaku kembali mengingatmu
Untuk luka yang tak pernah ku tahu bagaimana rasanya.
Ini rasa adil yang hampir sebelas tahun yang lalu aku jaga.
Ini rasa sayang yang hampir sebelas tahun yang lalu aku sedia.
Tapi sayang aku tak lagi ingin mencintaimu. 
Cukup, aku bisa membahagiakan diriku sendiri.
Pantasnya kamu tak pernah ada dalam hidupku.
Bukan untuk keindahan sebelas tahun yang lalu, ternyata hanya ku rasa saat kau tak lagi ada.
Terang saja iblis dalam jiwaku melesak kebahagiaan semuku itu.
Tak layak nya kau tetap menari-nari seakan tanpa dosa.
Aku tau aku cinta kamu yang dulu,
Lalu kamu??
Aku ingin tersenyum lebar saat ingat masa-masa itu.
Tapi maaf! Aku tak butuh lagi.)

Sabarku Pelangi

Tak tersentuh 
Tak terjamah 
Tak terjangkau 
Tak pula bermassa 

Layaknya itu tak terelak 
Selasarnya pun nyata dalam kasat mata 

Sabarku 
Pelangi yang tak berujung 
yang tinggi menjulang menyentuh jenjang Cakrawala 
Yang kokoh menapaki dasar Bumi 

Sabarku 
Pelangi yang indah 
Penuh warna 
Kebahagiaan mereka yang melihat dari kejauhan 

Pelangiku melukis indah Dunia Biruku 

#dierakieyatie